Jumat, 15 Oktober 2010

FILSAFAT ILMU TERHADAP MISTIK

BAB I  
PENDAHULUAN


Prof. Kuntowijoyo telah membagi tiga tingkat evolusi pemikiran manusia yaitu mitos, ideologI dan ilmu. Beliau menjelaskan bahwa periode mitos berlangsung sebelum dan pada abad ke 19 serta awal abad ke-20.[1] Bahkan hingga saat inipun sebetulnya, mitos maupun mistik[2] ternyata masih terus mempengaruhi pemikiran manusia Indonesia.
            Bahkan, dapat diasumsikan bahwa sebetulnya mistik tersebut tetap mempengaruhi pemikiran manusia Indonesia, hingga menjadi bagian dari suatu budaya dan pada akhirnya mempengaruhi aturan hidup manusia Indonesia. Terdapat beberapa contoh yang  AAseperti diketahui saat ini terdapat sikap yang diyakini oleh beberapa orang yang menghendaki agar santet dikriminalisasi dan dimasukkan aturannya dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang hingga kini masih menjadi pembicaraan kontroversial.
            Pada politik hukum sebagai hal yang mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan[3], juga terdapat unsur keyakinan yang cenderung bersifat mistik. Sebagai contoh, adalah cara orang Indonesia dalam menentukan calon legislatif, calon presiden ataupun partai yang akan dipilih dalam Pemilihan Umum.
            Meskipun slogan dengan hati nurani atau melihat visi dan misi suatu partai atau seseorang, namun tetap ada unsur yang tidak terjangkau oleh akal manusia biasa, seperti pengkultusan seseorang, kharisma seseorang atau partai, aliran yang dianut suatu partai, bahkan tidak jarang berdasarkan pula angka yang digunakan oleh seseorang atau partai tersebut.
            Apabila diperhatikan, jumlah pasal dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 (yang telah mengalami 4 kali amandemen), tidak mengalami perubahan. Tetap berjumlah 37 pasal, dan hanya mengalami penambahan huruf–huruf dibelakang angka pasal untuk penambahannya. Seolah-olah para anggota MPR tidak berani untuk menambah angka tersebut ataupun memiliki keyakinan terhadap angka 37 tersebut. Hal ini juga terlihat dari dirombaknya batang tubuh UUD 1945 namun tidak menyentuh sama sekali Pembukaan UUD 1945.
            Tulisan ini bukan untuk menyarankan adanya perubahan tersebut, namun justru memikirkan hal yang terdapat dibalik itu semua. Beberapa contoh yang telah dipaparkan mengindikasikan terdapatnya suatu unsur keyakinan, yang selanjutnya akan disebut mistik dalam nilai-nilai atau ide ataupun sikap masyarakat Indonesia yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan apapun sehingga pada akhirnya menjadi suatu budaya hukum.
            Sebagaimana diketahui bahwa, budaya hukum merupakan iklim pikiran masyarakat dan kekuatan masyarakat yang menentukan bagaimana suatu hukum itu digunakan, dihindarkan atau disalah gunakan.[4]  Budaya hukum juga merupakan budaya non material ataupun spiritual.
            Adapun inti budaya hukum sebagai budaya non material atau spiritual adalah nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik (sehingga harus dianuti) dan apa yang buruh (sehingga harus dihindari). Nilai-nilai tersebut merupakan dasar dari etika (mengenai apa yang benar dan yang salah), norma atau kaidah (yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan) dan pola prilaku manusia.[5] Artinya ada unsur spiritual yang dekat dengan keyakinan atau kepercayaan, seperti halnya mistik yang muncul karena keyakinan seseorang.
            Lebih lanjut dijelaskan oleh Prof.Soerjono Soekanto bahwa nilai-nilai tersebut paling sedikit mempunyai 3 aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Aspek kognitif adalah aspek yang berkaitan dengan rasio atau pemikiran, aspek afektif adalah aspek yang berkaitan dengan perasaan, sedangkan aspek konatif adalah aspek yang berkaitan dengan kehendak untuk berbuat atau tidak berbuat.[6] Nilai-nilai ini (terutama nilai afektif) juga berkaitan dengan keberadaan mistik dalam budaya hukum, karena nilai afektif (perasaan, emosional dan keyakinan) turun berperan dalam diri manusia Indonesia.
            Meskipun demikian, asumsi mengenai keberadaan mistik dikaitkan dengan suatu budaya hukum tetap akan menimbulkan suatu pro kontra di kalangan masyarakat umum maupun akademisi, mengingat budaya hukum harusnya menempati bentuk lanjutan dari suatu kesadaran hukum. Oleh karenanya tidak setiap pihak menerima adanya suatu mistik sebagai bagian dari budaya hukum di Indonesia.
Setelah diasumsikan bahwa mistik juga merupakan budaya hukum, maka untuk memahami mengenai mistik tersebut dari aspek filsafat ilmu, maka dilakukan pendekatan sebagaimana karakteristik filsafat ilmu yaitu secara mendasar, menyeluruh dan spekulatif [7] yakni dengan mencoba memahami mistik melalui aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Meskipun diketahui bahwa secara ontologis, ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia dan secara epistemologi, ilmu merupakan metode ilmiah yakni cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar[8], sehingga sempat diragukan untuk membicarakan mistik (yang berada diluar pengalaman manusia atau akal sehat manusia) tersebut apakah dapat ditinjau secara persfektif filsafat ilmu atau hanya melalui persfektif filsafat saja.
Meskipun demikian, ilmu adalah bagian dari pengetahuan, dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Maka terdapat suatu benang merah disini, yakni mistik sebagai budaya hukum yang berakar dari suatu kebudayaan suatu masyarakat. Artinya mistik dapat dilihat dengan persfektif keilmuan, dalam hal ini,  ditinjau melalui filsafat ilmu.
Keadaan ini justru menjadi menarik untuk ditelaah lebih jauh, terutama dari aspek filsafat ilmu, dimana diketahui bahwa mistik juga merupakan bagian dari obyek kajian filsafat yakni dalam cabang metafisik karena dalam metafisik dipelajari pembicaraan-pembicaraan tentang prinsip yang paling universal dan sesuatu yang diluar kebiasaan (beyond nature).[9] Mistik sendiri merupakan suatu yang universal (hampir dipastikan di negara manapun mempunyai keyakinan dalam bentuk mistik ataupun mitos) dan sering kali merupakan suatu hal diluar kebiasaan manusia umumnya atau sebaliknya kemudian justru menjadi kebiasaan manusia.
Dijelaskan bahwa  “metafisik berusaha untuk menyajikan pandangan yang komprehensif tentang segala yang ada : ia membicarakan problema seperti hubungan antara akal dan benda, hakikat perubahan, arti kemerdekaan, kemauan, wujud tuhan dan percaya kepada kehidupan sesudah mati bagi setiap orang”[10] Dengan demikian, metafisik pun mampu untuk mempelajari hal-hal terkait dengan mistik.
Filsafat kontemporer  dengan tekanannya terhadap persepsi rasa dan pengetahuan ilmiah           yang obyektif bersikap skeptis terhadap kemungkinan pengetahuan metafisik serta terhadap berartinya soal “metafisik”. Namun hanya filosof dari timur atau barat yang percaya bahwa problem nilai dan agama atau problem metafisik adalah erat hubungannya dengan konsepsi seseorang tentang watak yang fundamentarl dari alam. Banyak filosof percaya bahwa dalam diri manusia ada sesuatu yang lebih tinggi dari alam empiris. [11] Artinya keberadaan dan fungsi metafisik sendiri juga menimbulkan banyak perdebatan dikalangan filosof. Meskipun demikian, kajian ini tetap diyakini dapat dilakukan melalui filsafat karena terdapat juga sebagai filosof yang percaya akan metafisik tersebut.
            Oleh karenanya, dengan harapan melalui kajian filsafaat Ilmu ini, maka akan ditemukan penjelasan mengenai hakekat (aspek ontologis), cara (aspek epistemologis) dan  kegunaan (aspek aksiologis) dari telaah mengenai mistik dalam budaya hukum ini.
















BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT ILMU TERHADAP MISTIK

A.     Hakekat mistik dikaitkan dengan budaya hukum

Terdapat banyak pengertian mengenai mistik, baik berdasarkan kamus bahasa Indonesia, ilmu antropologi dan filsafat sendiri. Berikut beberapa pengertian mengenai mistik tersebut :
merupakan hal gaib yang sangat diyakini hingga tidak bisa dijelaskan dengan akal  manusia biasa.[12]
merupakan sub sistem yang ada di hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan tuhan.[13]
merupakan bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu Tuhan yang dianggap meliputi segala hal dalam alam dan sistem keagamaan ini sendiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan tuhan.[14]
merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio.[15]
Perkataan mitos atau mythical sebagai pertimbangan nilai yang negatif tentang suatu kepercayaan atau riwayat. Walaupun begitu, kata tersebut dapat dipakai sebagai deskriptif semata-mata tanpa konotatif negatif. Mitos dapat menunjukkan kepada (1) dongengan-dongengan (2) bentuk-bentuk sastra yang membentangkan soal-soal spritual dalam istilah sehari-hari (3) cara berpikir tentang ketenaran-ketenaran yang tertinggi (ultimate).[16] Bentuk pertama merupakan dongengan dengan binatang-binatang sebagai pelaku, tujuannya adalah memberi moral atau prinsip tindakan dan bukan untuk meriwayatkan suatu kejadian dalam sejarah secara terperinci. Bentuk kedua dalam arti sesungguhnya sangat bergantung pada konteks keagamaan. Bentuk ketiga merupakan bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak.[17]
merupakan pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau latihan spritual, bebas dari ketergantungan pada indera dan rasio.[18]
Apabila dikaitkan dengan budaya hukum, maka pada hakekatnya mistik merupakan merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak di dalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini kemudian membentuk suatu perilaku dalam kehidupan masyarakat dan menjadi suatu budaya.
Kemudian, buah pikiran atas ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini menjadi sesuatu yang keadaanya tidak statis melainkan berubah mengikuti perubahan dalam masyarakat dan diyakini  menjadi budaya hukum.[19]Dengan demikian, dapat diartikan bahwa meskipun mistik tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia biasa,  namun memiliki pengaruh bagi masyarakat yang menyakininya.
Sebagai contoh mengenai mistik yang ada dalam masyarakat, diantaranya terdapat dalam beberapa peristiwa berikut ini
Pengkultusan seseorang yang mudah menggiring para pengikutnya kepada tindakan antisosial yang berbahaya, seperti tindakan bunuh diri massal yang dilakukan kelompok Heaven’s Gate di Amerika Serikat dan usaha pembunuhan massal oleh Sekte Aum Shinrikyo di Jepang.[20] Sikap mengkultuskan ini merupakan sikap fanatik terhadap seseorang yang tidak dapat dimengerti secara rasio dan sulit dijelaskan oleh akal.
Contoh lain yang berkaitan dengan budaya dan berpengaruh pada politik adalah aliran kelompok meditasi Falun Gong, yaitu pemrotes dengan cara diam, yang dianggap sekte sesat oleh pemerintah komunis Cina. Tudingan pemerintah Beijing adalah gerakan Falun Gong merupakan gerakan makar berbau mistik. Hal ini dilatar belakangi sejarah politik Cina yang dipenuhi sederet contoh gerakan arus bawah yang kebanyakan direkat oleh kohesi kepercayaan dan mistisisme yang tumbuh menjadi kekuatan politik dan menggulingkan dinasti.[21] Kelompok meditasi yang dianggap berbau mistik ini juga sulit dijelaskan oleh akal, namun meditasi yang dilakukan tersebut diyakini oleh masyarakat dapat mengubah politik negara mereka.
Munculnya aliran kebatinan di Indonesia, dimana ulama sufi (mistik) menerjemahkan teks suci Alqur’an secara ta’wil tidak secara lahiriayah sehingga menimbulkan kontroversial. Dalam ajaran dan perkembangannya mereka “menafikan” dan “menolak” syariah dan lebih mengedepankan hubungan pribadi dengan tuhan tanpa penuntun yang jelas.[22] Aliran ini banyak diikuti masyarakat di Jawa dan menjadi bagian budaya hukum, sehingga sewaktu itu pemilihan umum ataupun melakukan kegiatan politik yang berkaitan dengan hukum, didasarkan pada “eling” kepada tuhan sekaligus meminta petunjuk dan meyakini hal-hal mistis disekitar mereka, seperti karisma pemimpin, jumlah angka dan hal lainnya.
Budaya hukum merupakan sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, pandangan-pandangan, pikiran-pikiran, sikap-sikap dan harapan-harapan (bagian dari budaya umum yang berhubungan dengan sistem hukum).[23]
Budaya hukum sendiri menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Apabila masyarakat hukum tersebut sederhana, maka kehidupan masyarakatnya terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis.[24] Dengan demikian, budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya  yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan budaya, posisi ataupun kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.[25] Termasuk nantinya keyakinan ataupun kepercayaan anggota masyarakat tersebut.

  1. Proses  munculnya mistik dikaitkan dengan budaya hukum
Membahas mengenai epistemologi mistik, berarti berusaha mencari tahu bagaimana sejarah munculnya mistik dan bagaimana memperoleh keyakinan mistik tersebut. Sebagaimana dijelaskan mengenai hakekat mistik yang gaib, maka alat yang dapat digunakan untuk mengeahui mistik ini diantaranya adalah rasa, hati dan keyakinan seseorang. Jadi tidak melalui indera atau pun rasio atau akal manusia.
Adapun yang menjadi obyek dari mistik tersebut merupakan obyek yang gaib, kasat mata dan supra rasional, maka cara memperolehnya pun sering kali tidak  menggunakan akal rasional. Mistik dapat diperkenalkan sebagai suatu bentuk dari intuisi[26] Dijelaskan bahwa intuisi yang ditemukan orang dalam pejabaran-penjabaran mistik memungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung yang mengatasi pengetahuan yang diperoleh dengan akal dan indra. Pengetahuan mistik telah diberi definisi sebagai kondisi orang yang amat sadar tentang kehadiran yang Maha riil. (Hubungan aku dengan tuhan / Kesadaran Kosmis).[27]
 Berikut ini beberapa cara yang dimungkinkan masuknya keyakinan mistik kepada seseorang :
1.      Apabila seseorang mengalami guncangan psikis, seperti perasaan tersingkir, hilangannya pegangan hidup maupun teringkari, maka dapat secara mudah gerakan kultus yang fanatik, eksklusif dan tak jarang anti sosial dapat masuk. [28] Artinya tanpa adanya pegangan hidup, maka mistik dalam bentuk kultus dapat masuk ke diri seseorang.
2.      Dapat juga dengan melakukan meditasi dan pendalaman suatu aliran kebatinan yang hanya menyatakan diri berhubungan langsung dengan tuhan tanpa memiliki syarat atau aturan tertentu.
3.      Perbedaan oritantasi politik atau aliran dipercaya menjadi sebab dari munculnya perbedaan partai politik dan konflik diantara masyarakat, khususnya Jawa. Aliran yang berbeda bersaing terutama dalam endefinisikan apa itu Indonesia. Atas dasar apa Republik Indonesia harus dibangun sehingga menjadi negara yang kuat dan punya pemerintahan yang baik ? Kalau disederhanakan, ada dua aliran politik yang mempengaruhi apa jawaban elite politik atas pertanyaan tersebut ; santri dan abangan. Santri adalah kelompok muslim yang taat dalam menjalankan perintah agama. Bagi santri pada tahun 1950-an, taat terhadap agama berarti mengupayakan agar islam menjadi landasan atau asas bagi pengelompokan politik, seperti parpol dan negara. Karena itu mereka mendirikan parpol berasas islam. Dan pada tahun 1950-an mereka juga mengupayakan agar RI berasakan Islam. Hanya dengan demikian Indonesia menjadi kuat. Sebaliknya, abangan adalah kelompok muslim yang tidak taat menjalankan kewajiban agam islam, apalagi memperjuangkan agar negara berasaskan islam. Islam tidak penting dalam kehidupan sosial politik kelompok abangan. Tidak heran kemudian ia lebih terbuka terhadap ideologi politik lain yang dominan di dunia pada waktu itu yakni komunisme. PKI lahir dari elite dan massa yang berorientasi abangan seperti ini. Sementara itu, abangan yang berada pada posisi kelas atas mewujudkan nilai politik mereka dalam PNI. Perbedaan PNI dengan PKI secara kultural terlaetak pada sopistikasi kepercayaan mereka dan pada perbedan kelas konstiuen mereka. Meski demikian, ketika dihadapkan dengan islam dan partai islam, mereka merupakan kekuatan yang relatif homogen.[29] Keyakinan tanpa diimbangi dengan rasional terhadap aliran politik yang dianut ini juga mempermudah masukkan unsur mistik dan menjadi budaya hukum.
4.      Munculnya aliran kebatinan atau islam mistik di Jawa melalui cara damai, yakni dimulai dari Syekh Siti Jenar memaklumkan dirinya sebagai pengembang aliran manunggaling kawula-gusti (widhatul wujud) yang melambangkan ajaran perkembangan dan percaturan filsafat serta tasawuf pada masa peralihan kekuasaan di jawa, dari majapatit (hindu dan budha) ke pemrintahan islam Demak Bintoro.[30] Aliran sufi atau mistik ini berkembang mejadi Aliran Kebatinan. Terhadap kondisi keyakinan melalui aliran kebatinan ini, dapat dilihat juga bahwa berdasarkan teori Emile Durkheim mengenai sifat solidaritas dari dalam masyarakat, maka adanya solidaritas mekanis yang muncul dalam masyarakat sebagai akibat yang ditimbulkan dari kesamaa yang mengaitkan individu dengan masyarakatnya, maka didalam masyarakt demikian, terdapat kesamaan antra para anggotanya mengenai kebutuhan-kebutuhan, prikelakuan, kepercayaan dan sikap[31]. Hal ini  yang pada akhirnya menimbulkan keinginan untuk menimbulkan efek mempertahankan aliran yang diyakininya tersebut.
5.      Sementara, apabila dilihat dari proses lahir atau munculnya mistik tersebut turut mempengaruhi cara memperoleh mistik tersebut, khususnya di negara Indonesia. Seperti mengenai kultus sebagai ekspresi beragama yang cenderung tertutup dan merasa paling benar, proses munculnya adalah diawali dengan terjadinya perubahan kepribadian seseorang yang tiba-tiba drastis, suka menyendiri dan menjaga jarak dengan orang lain, kehilangan daya kritis, sensitif terhadap kritik, cenderung defensif yang berlebihan dan lama-lama menyakini pihak yang dikultuskannya dan bersedia diajak bunuh diri.[32]
6.      Kehadiran mistik ke dalam budaya hukum, secara teori juga dapat dianalisis berdasarkan teori-teori mengenai prilaku masyarakat dan budaya. Budaya menjadi sarana penting bagi mistik untuk masuk menjadi bagian budaya hukum dikarenakan mistik mempengaruhi pola pikir manusia yang akhirnya akan mnucul dalam bentuk budaya atau kebudayaan, sementara kebudayaan memberi pengaruh pada hukum sehingga proses ini menjadi suatu budaya hukum, sebagaimana dijelaskan oleh Koentjaraningrat bahwa hubungan antara kebudayaan dengan hukum digambarkan sebagai berikut : [33]
                   “Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatannya lebih kongkret, seperti norma-norma, hukum dan aturan-aturan khusus semuanya berpedoman kepda sistem nilai budaya.”
                  Berdasarkan hal ini, maka diketahui bahwa hukum dengan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat, yaitu hukum merupakan kongkretisasi dari nilai-nilai budaya suatu masyarakat, dengan kata lain hukum merupakan penjelmaan dari sistem nilai-nilai budaya masyarakat. Perkembangan analisis ini melahirkan istilah budaya hukum sebagai persenyawaan antara variable hukum dan kebudayaan.[34]

Berikut beberapa teori yang menjelaskan cara mistik masuk ke dalam  kebudayaan dan kemudian menjadi budaya hukum, diantaranya :
a.        Berdasarkan bentuk-bentuk karakteristik perilaku sosial yang dikemukakan oleh Max Weber yaitu :[35] Pertama perilaku sosial masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai rasional dan berorientasi terhadap suatu tujuan. Kedua, bahwa prilaku sosial dapat diklasifikasikan oleh kepercayaan secara sadar pada arti mutlak perilaku. Ketiga, perilaku sosial yang diklasifikasikan sebagai suatu yang bersifat afektif atau emosional. Keempat,  merupakan prilaku sosial yang dikalsifikasikan sebagai tradisonal yang telah menjadi adat istiadat. Berdasarkan prilaku sosial masyarakat tersebut, dapat dianalisis bahwa mistik juga merupakan suatu prilaku sosial yang cenderung bersifat emosional dan tradisional yang kemudian menjadi bagian dari  budaya.
b.      Menurut teori dari Robert K. Merton dijelaskan bahwa magis atau mistik atau ritus kepercayaan tertentu maupun kepercayaan bersifat fungsional memberi efek terhadap jiwa atau kepercayaan diri bagi mereka yang memang mempercayainya.[36] Dengan demikian, mistik dianggap mampu mempengaruhi suatu maryarakat sehingga dapat diartikan juga mempengaruhi budaya masyarakat tersebut.
c.       Berdasarkan inti teori Von Savigny : “semua hukum pada mulanya dibentuk dengan cara seperti yang dikatakan orang, hukum adat, dengan bahasa yang biasa tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk yakni bahwa hukum itu mulai-mula dikembangkan oleh adat kebiasaan dan kepercayaan yang umum. Baru kemudian oleh yurisprudensi, jadi dimana-mana oleh kekuatan dalam yang bekerja diam, tidak oleh kehendak sewenang-wenang dalam pembuatan UU. Von Savigny menekankan bahwa setiap masyararakat mengembangkan hukum kebiasaanya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat (termasuk kepercayaan) dan konstitusi yang khas[37] Dengan demikian, apabila suatu mistik telah menjadi kepercayaan suatu masyarakat (seperti munculnya aliran keagamaan atau aliran politik) maka dapat berarti mistik menjadi kebiasaan dalam masyarakat tersebut, dimana kebiasaan tersebut mampu mengembangkan suatu hukum.
d.      Bahkan berdasarkan Teori Max Weber lainnya, dijelaskan bahwa dalam perkembangan hukum sehingga samapai kepada bentuknya yang sekarang ini, dominasi dalam masyarakat bertolak dari struktur yang karismatik dan tradisional menuju ke struktur yang legal rational.[38] Adanya kharismatis yang berunsur magis diakui oleh Weber sebagai faktor yang memberi sumbangan dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum

Dengan demikian, dari aspek epistemologinya, mistik dapat diperoleh melalui berbagai cara, seperti meyakinkan seseorang melalui pengkultusan, karisma, secara damai melalui pendekatan agama dan keyakinan termasuk melalui jalur partai politik, melakukan meditasi sampai dengan beberapa teori yang dikemukakan oleh para filosof dan sosiolog terkait dengan analisis teori yang mendukung argumentasi mengenai cara mistik masuk ke dalam  kebudayaan dan kemudian menjadi budaya hukum

  1. Manfaat telaah mistik dalam budaya hukum
Berdasarkan teori dari Ann Ruth Willner yang menjelaskan bahwa terhadap suatu kepemimpinan yang hanya berdasarkan suatu karistmatis belaka, dapat menimbulkan ciri-ciri bahwa : [39] Pertama , adanya keyakinan bahwa sang pemimpin memiliki kualitas Istimewa yang superhuman. Kedua, para pengikutnya kehilangan kritisme terhadap pemimpinnya, bahkan cenderung memperlakukan pendapat atau sikap pemimpinnya sebagai suatu kebenaran. Ketiga, para pengikut memberikan loyalitas mutlak kepada para pemimpinnya dan Keempat, massa pengikut senantiasa memperlihatkan komitmennya yang emosional dan personal terhadap pemimpin.  Dan hal ini menjadi salah satu faktor digunakannya mistik yang dikaitkan dengan suatu budaya masyarakat, karena lebih mempermudah suatu pihak menggunakan kharismatik dalam menentukan keberadaan kepemimpinannya pada suatu masyarakat.
Selain itu terdapat beberapa kegunaan mistik sebagai budaya hukum apabila dikaitkan dengan kegiatan baik dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum :
1.      Dapat dimanfaatkan oleh para politisi dalam meraih perhatian masyarakat yang pemahaman politiknya belum tinggi, sehingga dalam hal seperti pemilihan umum, partai politik atau seorang tokoh lebih mudah mempengaruhi pemilihnya melalui keyakinan, kultus maupun karisma yang semuanya merupakan mistik.
2.      Sifat subyektif dalam mistik menunjukkan kegunaanya lebih ditujukan kepada pihak-pihak yang menggunakan mistik tersebut. Seperti pengembangan aliran kebatinan ataupun aliran dalam agama yang mempengaruhi suatu partai politik.
3.      Disukai atau tidak, masuknya islam dan meluasnya penyebaran agama tersebut di Jawa maupun di wilayah lain, dilakukan secara damai tanpa harus berperang. Dikarenakan dalam penyebaran tersebut menggunakan upaya mistik sekaligus memberikan kepercayaan lain yang dianut untuk melebur pada islam, sehingga muncullah islam abangan ataupun islam mistik.
4.      Dalam pembuatan UU sekalipun, mistik yang telah menjadi suatu budaya dan  memiliki suatu nilai yang mewakili suatu masyarakat tertentu, dapat diberikan perlindungan hukum. Sebagai contoh suatu mistik yang menjadi budaya dan bernilai sejarah serta menjadi mitos dalam kalangan masyarkat tertentu, diakui sebagai bagian dari Folklore masyarakat tersebut dan dilindungi melalui UU Hak Cipta.
5.      Bahkan tidak jarang, pengaruh keyakinan, sikap serta kebiasaan yang berasal dari mistik yang telah menjadi budaya hukum dapat berperan sebagai pendorong proses adaptasi dari suatu perubahan, sekaligus dapat pula berperan sebagai penghambat. Hal ini dapat dilihat, dari banyaknya budaya yang bernilai ekonomis yang apabila dilindungi akan membantu proses adaptasi dari suatu perubahan, misalnya dalam hal perlindungan Hak Kekayaan Intelektual suatu masyarkat seperti Hak Cipta, atau sebaliknya menjadi penghambat apabila tidak dimanfaatkan secara positif.
Ditarik suatu sintesa bahwa, kegunaan utama dari mistik sebagai budaya hukum selain mempermudah sebagian pihak untuk mempengaruhi masyarakat melalui kharismatik dan pengkultusan baik dalam dunia politik dan keagamaan, namun juga dapat dimungkinkan dimanfaatkan secara positif seperti menjadi bagian dari folklore masyarakat tertentu, sehingga bernilai ekonomis dan dapat dilindungi oleh hukum.
Pada akhirnya, suatu kebudayaan, aspirasi, cita-cita dunia nilai-nilat, tetap merupakan variabel bebas yang turut menentukan penampilan kahir dari hukum.[40] Demikian analisis melalui persfektif filsafat ilmu mengenai keberadaan mistik sebagai budaya hukum yang cukup mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia.
Kebudayaan mempengaruhi suatu hukum dalam suatu masyarakat. Mistik sebagai suatu pengetahuan yang mempengaruhi pola pikir manusia pada akhirnya akan muncul dalam bentuk budaya. Selanjutnya proses kebudayaan mempengaruhi hukum ini lebih dikenal sebagai suatu proses yang menjadi budaya hukum. Dengan demikian mistik pun dapat dikaitkan dan menjadi bagian dari budaya hukum.
Secara filosofis, keberadaan misitk dalam budaya  hukum dapat dilihat dari 3 aspek yaitu, aspek ontologis yang menjelaskan bahwa mistik dalam budaya hukum merupakan mistik merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang kebenaran yang mutlak didalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran yang tidak rasional ini kemudian membentuk suatu perilaku dalam kehidupan masyarakat dan menjadi suatu budaya.
Kemudian berdasarkan aspek epistemologis,  mistik dapat diperoleh melalui berbagai cara, seperti meyakinkan seseorang melalui pengkultusan, karisma, secara damai melalui pendekatan agama dan keyakinan termasuk melalui jalur partai politik, melakukan meditasi sampai dengan beberapa teori yang dikemukakan oleh para filosof dan sosiolog terkait dengan analisis toeri yang mendukung argumentasi mengenai cara mistik masuk ke dalam  kebudayaan dan kemudian menjadi budaya hukum.
Pada akhirnya, berdasarkan aspek aksiologis, kegunaan utama dari mistik sebagai budaya hukum adalah, selain mempermudah sebagian pihak untuk mempengaruhi masyarakat melalui kharismatik dan pengkultusan baik dalam dunia politik dan keagamaan sampai mempengaruhi pembentukan dan pelaksanaan hukum, namun juga dapat dimungkinkan dimanfaatkan secara positif seperti menjadi bagian dari folklore masyarakat tertentu, sehingga bernilai ekonomis dan dapat dilindungi oleh hukum.






















BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Apabila nilai mistik sebagai budaya memiliki nilai positif dalam arti memiliki keuntungan ekonomis sehingga berbentuk mitos dan kepercayaan masyarakat lokal dan  pada akhirnya dapat dilindungi melalui perlindungan hukum terhadap folklore, maka keberadaan mistik masih tetap dapat dipertahankan.
Persoalannya menjadi pelik, apabila mistik sebagai suatu budaya tersebut setelah melalui prosesnya menjadi budaya hukum, terlalu dominan sehingga mempengaruhi pola pikir masyarakat, seperti dalam menentukan pilihan hukumnya pada pemilihan umum, atau wakil rakyat dalam menentukan ketentuan hukum apa yang perlu diatur. Hal ini dapat menjadi penghambat perkembangan hukum dalam beradaptasi pada perubahan dan kemajuan dunia. Oleh karenanya, keberadaan mistik sebagai suatu budaya hukum, harus ditempatkan pada posisi yang tepat, seperti hanya sebagai alat untuk mempengaruhi menjelang adanya pilihan hukum, tidak pada saat melakukan pilihan hukum dalam pemilihan umum ataupun harus disertai dengan upaya pembuktian hukum yang tepat jika akan menjadi bagian ketentuan tertulis, seperti pengaturan mengenai santet dalam KUHPidana.






DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir. 2004. Filsafat Ilmu : mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin. 2004. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Cita Citrawinda Priapantja. 1999. Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi. Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi. Jakarta :  Chandra Pratama.
Eman Suparman. 2004. Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan. Jakarta : PT. Tatanusa.
Hajriyanto. Y. Thohari. 2002. Kepemimpinan Nasional : antara Primordialisme dan Akuntabilitas. Dalam buku Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat L: Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta :  LP3ES.
Harold H. Titus, et al. 1984. Pesoalan-Persoalan Filsafat. (alih Bahasa Prof. Dr. H.M. Rasjidi). Jakarta : PT. Bulan Bintang.
J.W.M. Bakker. Sj. 1984. Filsafat Kebudayaan : Sebuah Pengantar. Yogyakarta :  Kanisius.
Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : PT. Dian Rakyat.
--------------------. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta :  Gramedia.
Lawrence. M. Friedman. 2001. American Law : An Introduction. Hukum Amerika : Sebuah Pengantar (alih bahasa Wishnu Basuki). Jakarta : Tatanusa.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung :  CV. Mandar Maju.


[1] Kuntowijoyo. “Mitos, Ideologi, dan Ilmu : Bagian Pertama Dari Tiga Tulisan”. Harian Republika. 27 Agustus 2001. 
[2]  Mistik dapat juga dibedakan dari mitos, karena mitos menurut kamus besar bahasa Indonesia halaman 749 merupakan  Cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu mengandung penafsiran tentang asal usul semesta alam manusia dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Mitos adalah suatu konsep tentang kenyataan yang mengandaikan bahwa dunia pengalaman sehari-hari terus menerus disusupi oleh kekuatan yang beragam. Menurut Berger dan Luckmann, dikutip oleh Kuntowijoyo dalam opini Mitos, ideologi dan Ilmu (Bagian I) . Republika, 27 Agustus 2001.  Namun ada pula beberapa filosof yang memandang mitos sebagai bagian dari mistik.
[3]  Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta. PT. Pustaka LP3ES. 1998., halaman 9.
[4] Cita Citrawinda Priapantja. Budaya Hukum Indonesia Menghadapi globalisasi : Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi. Chandra Pratama. Jakarta. 1999.,  halaman 195 mengutip dari Satjipto Rahardjo. “Bekerjanya Hukum”  dalam Hukum dan Masyarakat. Bandung. Angkasa. 1980., halaman 85
[5] Soerjono Soekanto et al. Antropologi Hukum : Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat. Jakarta. CV. Rajawali. 1994., halaman 202 – 203.
[6] Ibid., 
[7] Jujun. S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. 1999., halaman 20 – 22.
[8] Ibid., halaman 105
[9] Harold H. Titus, et al. Pesoalan-Persoalan Filsafat. (alih Bahasa Prof. Dr. H.M. Rasjidi). Jakarta. PT. Bulan Bintang. 1984., halaman 20 
[10] Ibid., 
[11] Ibid., 
[12] Pusat Bahasa Departemen P dan K . Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta . Balai Pustaka. 2002., halaman 749.
[13] Ibid., 
[14]  Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta. PT.Dian Rakyat. 1980., halaman 269.
[15] Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu : Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya. 2004., halaman 112
[16] Harold. H. titus, et al. op cit., halaman 418. mengutip dari  Erich Dinkler. Makalah berjudul “Myth (Demythologizing)”  dalam buku A Hand Book of Christian Theology. Clevelanda : Collins & word. 1958. halaman 238 -243
[17] ibid., 
[18] Ahmad Tafsir., op cit, mengutip dari A.S. Hornby. A Learner’s Dictionary o f Current English. London. Oxford University Press. 1957., halaman 828.
[19] Lawrence. M. Friedman. American Law : An Introduction. Hukum Amerika : Sebuah Pengantar (alih bahasa Wishnu Basuki). Jakarta. Tatanusa. 2001., halaman 173. Secara lengkap dijelaskan oleh L.M.Friedman, bahwa budaya hukum sebagai suatu yang menjadi buah pikiran dan keyakinan manusia, keadaannya tidak statis melainkan berubah-ubah mengikuti perubahan masyarakat. 
[20] Kelik. M. Nugroho. “Obat itu bernama Kultus. Majalah Tempo. CR-Rom. Vol. 2. Desember 1998 bagian Agama . 
[21] “Falun Gong, Komunisme dan Aquaria”. Majalah Tempo. CD. Room . Vol. 3. Edisi No. 24/XXVIII/16-22 Agustus 1999. Bagian Selingan.
[22] Chamzawi. Munculnya Aliran Kebatinan. http://www.yarsi.ac.id/kolom_chamzawi/detail.php?id=8. diakses tanggal  04 Oktober 2004.
[23] Cita Citrawinda Priapantja. Loc cit. 195 .
[24]. Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra., Hukum Sebagai Suatu Sistem,. Bandung. CV. Mandar Maju.2003., halaman.156.
[25] Cita Citrawinda Priapantja. Op cit., halaman. 196 
[26] Harold. H. titus. Et al. Op cit., halaman 419
[27] Ibid., halaman 205. 
[28] Kelik. M. Nugroho. Loc cit. 
[29] http://kompas.com/kompas-cetak/0403/21/pemilu/920904.htm. Analisis Pemilu : Perubahan Signifikansi Politik Aliran. Minggu 21 Maret 2004., diakses tanggal 29 September 2004
[30] Chamzawi. Loc cit. 
[31] Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2000., halaman 288-289. 
[32] Kelik. M. Nugroho. Loc cit. 
[33] Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Op cit., halaman 25 
[34] Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta. PT. RajaGrafindo Perdada. 2004., halaman 146-147
[35] Soerjono Soekanto. Seri Pengenalan Sosiologi 1 : Max Weber, Konsep-Konsep Dasar Dalam Sosiologi. Jakarta. Rajawali Pers. 1985., halaman 46
[36] Soerjono Soekanto. Seri Pengenalan Sosiologi 10 : Robert K. Merton, Analisa Fungsional Jakarta.. Rajawali Pers. 1989., halaman 24-25
[37] W. Friedmann. Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan (Susunan II). Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. 1994., halaman 61
[38] Satjipto Rahardjo. Op cit., halaman 293-294
[39]  Hajriyanto. Y. Thohari., Op Cit., halaman. 144 – 145
[40]Satjipto Rahardjo. Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia. Jakarta. Penerbit Kompas. 2003., halaman 94 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar